Suatu kali, seorang karib yang saya anggap adik sendiri
bertanya heran, kenapa di galeri instagram saya sangat jarang ditemui masakan
Indonesia. Saya mengiyakan keheranannya, karena memang, jujur saja masakan
Indonesia menurut saya tidak fotogenik. Coba ingat bentuk dan tekstur rendang,
yang pernah nangkring sebagai jawara makanan terlezat di dunia tahun 2013,
hitam pekat dengan bongkahan daging yang mirip batu. Mau distyling model apa
cobaaaa??? Dikasi dedaunan di sebelahnya? Kayak taman berbatu dong.
Gimana dengan jajanan tradisional? Meski terlihat fotogenik
dengan warna-warna mencolok dan bentuk yang menggemaskan (terbayang cenil seperti ulat pink), tapi tau sendiri kan makanan tradisional itu ribet
bikinnya. Bahannya boleh murah dan sederhana, tapi siapa coba yang mau mbuletin
puluhan klepon dan mengisinya dengan gula merah untuk satu resep? Belum lagi
proses merebusnya yang rawan njebrot. Aaaghhhhh. Paling gampang ya beli, udah
murah, tersedia tiap hari lagi.
Nah yang terakhir ini saya agak segan. Sebisa mungkin
makanan yang saya foto ya saya masak sendiri. Mengamini beberapa foodblogger
senior, saat memasak makanan yang kita potrek, kita akan merasa lebih nyambung
saat memotreknya. Karena kita tahu bagaimana proses dan seluk beluk pembuatan
sehingga lebih mudah mencari apa yang mesti ditonjolkan dan apa yang mesti
disembunyikan. Coba kalo makanan beli, dapetnya itu ya udah itu aja yang
dipotrek.
Sampai suatu hari saya membaca buku Antropologi Kuliner
Nusantara terbitan Tempo.
Berapa banyak dari kita yang tahu asal muasal bahan makanan,
proses pembuatan sehingga tersaji di hadapan kita? Cabe misalnya. Tumbuhan asli
Amerika Latin ini ternyata memiliki sejarah panjang yang berjalin kelindan
dengan adagium Gold, Glory, Gospel penjajah ke Nusantara. Alkisah tahun 1563,
Sultan Khairun dari Ternate berhasrat menguasai Sulawesi Utara dan mengIslamkan
penduduknya. Namun rencana tersebut tercium Portugis yang terdorong oleh misi
Kristenisasi dan kolonialisme, sehingga Portugis mencuri start dengan
mengirimkan dua kapal kora-kora ke Manado. Tujuh tahun kemudian giliran Spanyol
yang masuk Sulawesi Utara. Dan tepat saat itulah Spanyol datang mengenalkan
cabe yang mereka bawa dari jajahan mereka di Amerika Latin. Orang Minahasa yang
hidup di pegunungan tertarik pada cabe yang panas dan mencampurnya dengan
rempah panas dari pedalaman seperti cengkeh, pala, jahe bawang merah, kemangi,
daun kunyit dan daun jeruk. Hingga akhirnya cabe menyebar luas ke pesisir
Nusantara pada abad 19.
Membaca sejarah dan antropologi makanan Indonesia membuat
saya berpikir lebih tentang apa tujuan saya ngeblog, nginstagram, dll. Kata
Vivi, si teman karib saya di atas, sepinter-pinternya kita bikin pizza, ga akan
lebih pinter dari orang Italia. Terus kenapa kita mesti repot menguasai makanan
luar sedangkan masakan Indonesia sendiri tidak akan pernah habis untuk
dieksplorasi? Tahukah kamu, di sekolah-sekolah kuliner (SMK) di Indonesia
selama ini pakai kurikulum Barat, yang artinya masakan Indonesia bukan
pelajaran utama. Sehingga mayoritas chef asal Indonesia sangat jarang jadi chef
kepala di sebuah restoran, apalagi di restoran yang punya nama di dunia
internasional. Dan karena itu juga, ga heran masakan Indonesia tenggelam
namanya di kancah kuliner dunia, karena tanpa sadar kita tidak diajari untuk
mencintai dan mempriotitaskan masakan Indonesia, baik secara formal maupun
informal.
Sudah saatnya kita jadi tuan rumah di negeri sendiri, jadi
ahli masakan Indonesia di negeri kita sendiri. Eaaaa, kok jadi kayak jargon
kampanye hihihi. Intinya adalah, saya pribadi sangat berharap anak cucu saya
kelak masih terbiasa makan muluk (makan pake tangan) nasi urap-urap dengan ikan
asin dan mendol, bukannya malah gabisa hidup tanpa ayam goreng tepung sang kolonel
atau aneka pasta. Dan saya mulai dari sini untuk mencintai, memasak dan
mendokumentasikan hasil masakan Indonesia yang saya masak. I knoooooow, just
like I wrote earlier, it takes more and more energy to shoot our bewildering –
weird – unusual yet beautiful traditional foods. But if not us, then who else?
If not now, then when? Eaaaa, kampanye lagi….
Cukup pidatonya, kembali ke resep – yang kali ini jajanan
tradisional – pukis. Pukis pandan tepatnya, yang ekstrak pandannya saya bikin
sendiri dari campuran daun pandan wangi dan pandan suji. Fyi, ini pertama
kalinya saya bikin ekstrak pandan. Surpriseeeed, warnanya hijau cantik dengan
semburat rasa pandan yang tegas, namun tidak terlalu tajam. Pokoknya beda
dengan pasta pandan! Ga nyesel jauh-jauh minta daun suji ke tetangga ibuk,
mblender dan nyaring sampai tumpah-tumpah.
Karena saya mblender pandannya dengan air yang cukup banyak,
maka saya memeras santan pake ekstrak pandan (air ekstrak pandan dituang ke
kelapa parut, lalu diperas yang menghasilkan santan hijau). Kalau bikin ekstrak
pandan dengan air yang seuprit, tinggal ambil secukupnya lalu dicampur dengan
santan.
Pukis Pandan
Sumber: Ricke-ordinarykitchen
Bahan:
250 gr tepung terigu protein tinggi
150 gr gula pasir
3 butir telur
¼ gr garam
1 sdt ragi instan
350 ml santan
65 gr margarine leleh
50 ml susu kental manis
Taburan:
Meses dan keju
Cara membuat:
Kocok gula, garam dan telur hingga mengembang dan pucat.
Masukkan 1/3 bagian tepung, kocok sebentar. Tambahkan ½ bagian santan, kocok
rata. Lakukan sisanya selang-seling tepung dan santan diakhiri dengan tepung.
Masukkan ragi aduk rata. Tuang margarine cair, aduk rata. Terkahir masukkan
susu kental manis, aduk rata. Istirahatkan selama 30 – 45 menit.
Panaskan cetakan pukis 15 menit. Tuang adonan memenuhi 2/3
bagian lubang cetakan, lalu tutup hingga setengah matang. Taburi meses atau
keju, tutup kembali hingga matang. Angkat, sajikan.
Nb. Akhir-akhir ini suka banget sama barang jadul. Sadarkah kamu kalo foto-foto (dan properti foto) kita banyak terpengaruh dari Food Photography luar? Aneka cetakan listrik (dari cetakan waffle sampe donat), cetakan pie, botol-botol erlenmayer kekinian, sampe daun maple buat properti (helloooo, emang ada musim gugur di Indonesia???). Saat saya menyusuri lorong-lorong pasar loak, saya terkejut betapa Indonesia punya banyak perintilan masak yang tradisional (dan ada pengaruh dari Belanda). Cetakan kuningan, wadah buah perak dengan ukiran bunga-bunga di sekelilingnya, cetakan kayu kue Ku, properti blirik serta aneka sendok-sendok kuningan yang ternyata cantiiiik sekali.
Sebagai bagian dari kampanye cinta masakan Indonesia di atas, saya pribadi akan berjuang untuk memakai properti yang sangat Indonesia tersebut. Dan ssssttt, di akhir bulan ini saya akan buka onlen shop jualan sendok-sendok jadul dengan harga miring :D
Sebagai bagian dari kampanye cinta masakan Indonesia di atas, saya pribadi akan berjuang untuk memakai properti yang sangat Indonesia tersebut. Dan ssssttt, di akhir bulan ini saya akan buka onlen shop jualan sendok-sendok jadul dengan harga miring :D
waaaaaaa buka onlen shooop? barakallah Kikiiii semoga usahanya berkaaah dan lantjar.. ah aku merinding baca tulisanmu ini, gak tau kenapa. kayaknya sih karena kipas angin di sampingku :p fotomu kian cetar! *sungkem*
ReplyDeleteaamiin aamiin mbak Pujiiiii, makasih doanya. yeeeeiii kirain merinding karena jiwa nasionalisme bangkit, ternyata krn kipas angin wakakakak
Deletemanaa sendoknya kakak...*pundung...
ReplyDeletekekekeke tunggu kak, aku masih sibuk luluraaaaan
Deleteuwaaa barang jadulnya banyak bangetttt^^
ReplyDeletebelum seberapa ini mbak, masih hunting terus hihihi, makasih udah mampir ^^
Deleteaq ngefans propmu mba ahahaha
ReplyDeletehihihi propsnya culikable ya? makasih mbak Indah :D
Delete