![]() |
Dengan muka penuh amarah artis Titi
Rajo Bintang mengarahkan moncong bedil ke kepala Marcellino Lefrandt, di bawah
Titi tersungkur penyanyi Andre Hehanusa dalam dekapan Regina Ivanova.
Sudah bisa menebak cerita di atas
berjudul apa? Yak anda benar, Sabai Nan Aluih adalah salah satu dari 17 foto
cerita rakyat yang dipamerkan di Grand Indonesia Agustus lalu. Pameran foto bertajuk Alkisah yang melibatkan 100 pekerja seni tersebut
merupakan mahakarya dari fotografer muda Rio Wibowo atau yang populer sebagai Rio Motret.
Mengangkat cerita yang popular ke
dalam foto dan menggunakan sosok selebritis sebagai modelnya, hmmm, sounds
familiar?
Yuuhuuu, konsep seperti itu telah
lebih dulu diangkat oleh fotografer kenamaan asal AS, Annie Leibovitz. Sejak tahun
2007 hingga kini, Leibovitz telah mempublikasikan foto-foto selebriti AS dari
Taylor Swift sampai David Beckham dalam balutan seri kisah Walt Disney seperti
Putri Salju, Cinderella, Rapunzel, Putri Tidur, dll.
Eeeeh, tunggu. Kalo Leibovitz udah
lebih dulu bikin foto dengan konsep seperti itu, lalu pameran foto Alkisah
punya RioMotret ga orisinal dong?
Yakin?
Perdebatan mengenai orisinalitas
bukan hal baru di dunia seni, bahkan bisa jadi setua umur kelahiran seni itu
sendiri. Masih hangat pertarungan dua raksasa gadget Samsung dan Apple yang
meributkan hak paten (yang lagi-lagi berasal dari orisinalitas) dan masih
berlangsung hingga kini. Terus pertanyaannya, adakah suatu karya yang
benar-benar murni tanpa ada jejak sentuhan karya yang telah ada sebelumnya?
Bukankah lukisan-lukisan Pablo Picasso sarat dengan sentuhan seni pahat Afrika di awal
karirnya? Dan kalo dirunut lebih jauh lagi, toh alfabet hanya terdiri dari 28
huruf, namun dari jumlah yang terbatas itu lahirlah karya sastra bertaraf nobel
seperti The Old Man and The Sea sampai coretan surat cinta anak ingusan. Pun
begitu pula dengan tangga nada yang hanya tersusun atas 7 nada dasar, tapi dari
situlah partitur Beethoven sampai irama dangdut koplo dirangkai. See, tidak ada satupun karya manusia yang
berasal dari ruang kosong. Semua yang ada di hadapan kita saat ini adalah
replikasi, duplikasi, rekonstruksi, dekonstruksi, serta inspirasi dari yang
terlebih dahulu ada.
Pernah dengar Sturtevant? Elaine Sturtevant (1924-2014) adalah seorang seniman keturunan
AS-Perancis, termasyur karena karyanya yang mencontek habis seniman Amrik Andy Warhol, Jasper
Johns sampai Roy Leichentein. Tidak hanya menjiplak gambar, sketsa, lukisan,
foto, video bahkan Sturtevant juga mencontek teknik para maestro tersebut. Dan
anehnya, hasil contekan Sturtevant seringkali dihargai jauh lebih tinggi daripada karya
asli yang diconteknya (bahkan sesuatu yang dicontek Sturtevant malah
melambungkan nama seniman aslinya). Terlepas dari kontroversi yang merebak atas
pilihannya menjadi penjiplak karya seniman lain, proyek menjiplak Sturtevant
menunjukkan bahwa plagiarisme dan
orisinalitas tidak pernah memiliki batasan yang tegas dan pasti.
Ambil contoh di dunia Food
Photography. Dua foto yang dibuat oleh dua orang yang berbeda akan menghasilkan
foto yang berbeda pula (apalagi bila dilakukan di waktu dan tempat yang
berbeda). Perbedaan dari yang paling kentara seperti jenis kamera dan lensa,
jenis obyek (meski sama-sama tomat; tapi ukuran, jenis, volume, bentuk dan
setiap aspek ekstrinsik tomat akan berbeda antara tomat yang satu dengan yang
lainnya), properti yang digunakan, proses editing sampai perbedaan kualitas
cahaya tidak akan membuat 2 foto menjadi sama persis. Tak hanya dua orang,
bahkan untuk remake foto milik kita sendiri di waktu yang berbeda tidak akan
menghasilkan karya yang serupa.
![]() |
resep dan foto ini terinspirasi dari foto di bawah |
![]() |
foto punya http://www.andersonandgrant.com/2014/09/friday-favorites-7.html |
Meski menyarankan kita untuk terus
menyontek, adagium Yamamoto menyiratkan satu hal, yakni tentang otentisitas
(authenticity). Bagaimana cara meramu aneka pengaruh dari luar dan
menyatukannya dengan passion itulah barangkali yang menentukan otentisitas
karya seseorang. Persis seperti yang diutarakan Steven Johnson di hadapan audience TED, “We take ideas from other people, from people we’ve learned
from, from people we run into in the coffee shop, and we stitch them together into new forms and we create something new.
That’s really where innovation happens. “
Orisinalitas
mustahil diraih dan pencarian akan orisinalitas bisa-bisa malah membuat seseorang
(terutama untuk pemula) jalan di tempat akibat dihantui orisinalitas. Padahal,
otentisitas lah yang membedakan karya satu dengan lainnya. Otentisitas lah yang
membuat karyaku menjadi karyaku. Manusia
tidak akan mampu mencipta hal yang benar-benar original, maksimal yang bisa dia
lakukan hanya berusaha membuat karya yang berbeda dari yang sudah-sudah. Mau
melabelinya sebagai inovasi atau modifikasi, maknanya sama.
Bila dikembalikan ke Food
Photography, modifikasi bisa kita lakukan lewat setiap aspek, entah lewat warna, tekstur, penyusunan styling dan komposisi, pengaturan
cahaya, pengeditan, dsb. Misalnya, sebagai pengagum Aisha Yusaf garis keras,
saya sering mencontek stylingnya. Tapi tentu saja dengan hero, warna, arah
cahaya, sampai props yang berbeda. Maka hasilnya pun sangat berbeda.
Namun suatu karya yang otentik,
yang sarat akan soul kita – atau jati seni, seperti La Binar
menyebutnya – tak bisa dicapai dalam sekejap mata. Klise memang, tapi hanya
dengan latihan dan latihan terus meneruslah kita bisa “klik” dan menemukan gaya
kita sendiri. Selain konsistensi untuk terus melatih diri, salah satu hal yang
tak kalah penting adalah kejujuran.
Apapun genrenya, setiap seniman
hendaknya mendasari setiap karyanya dengan kejujuran. Sejelek, se-gakmasukakal,
seaneh dan sehancur apapun karyamu, if
you truly honest to yourself, you will be glad of your works. Sosmed,
terutama instagram dan facebook, tanpa sadar mengajarkan kita untuk menjadi
generasi instan yang berburu jumlah likes dan followers. Maka tak heran bila
banyak yang mencontek foto seseorang – atau versi parahnya mengakui foto milik
orang – tanpa ada credit ke orang tersebut.
![]() |
Foto Jeruk ini remake foto milik Sefa Firdaus |
Iya, karya tersebut adalah milik
kita karena kita yang memotrek sendiri, tapi apakah kita sanggup jujur dengan
memajang nama sang inspirator dan mengakui bahwa kita
terinspirasi/meremake/mencontek fotonya? Toh pencantuman nama tersebut hanya
bentuk apresiasi kecil atas karyanya yang begitu berpengaruh terhadap kita
(kalo ga sangat berpengaruh ga mungkin kita contek kan?).
Akhir kata, pesan Jim Jarmusch
tentang orisinalitas ini barangkali bisa jadi renungan, sekaligus kesimpulan
tulisan ini.
Nothing is original. Steal from anywhere that resonates with inspiration or fuels your imagination. Devour old films, new films, music, books, paintings, photographs, poems, dreams, random conversations, architecture, bridges, street signs, trees, clouds, bodies of water, light and shadows. Select only things to steal from that speak directly to your soul. If you do this, your work (and theft) will be authentic. Authenticity is invaluable; originality is non-existent. And don’t bother concealing your thievery — celebrate it if you feel like it. In any case, always remember what Jean-Luc Godard said: “It’s not where you take things from — it’s where you take them to.
Tak ada yang orisinal. Conteklah
apapun, dari manapun, yang seirama dengan inspirasi atau yang memerciki
imajinasimu. Ambillah inspirasi dari film lawas, film anyar , music, buku, lukisan, foto,
puisi, mimpi, percakapan antah berantah, arsitektur, jembatan, tanda jalan,
pohon, awan, lekuk air, cahaya, bayangan, apapun. Pilihlah yang paling nyambung
dengan jiwamu. Kalau kau lakukan ini maka hasil karyamu akan menjadi otentik.
Otentisitas itu tak ternilai sedangkan orisinalitas tak pernah eksis. Dan
jangan menyembunyikan fakta bahwa kau mencuri, malahan rayakan kalau kamu
benar-benar menyukainya. Selalu ingat apa yang Jean Luc Godard katakan “bukan
tentang dari mana sesuatu berasal, namun ke mana kau membawanya”.
ps 1. The content of this writing isn’t mine solely, I’m only the notulen who catch a glimpse of crazy idea, thoughtfully but heartbreakingly comments, and honest experiences from the Sempels.
ps 2. the first picture above is Zuppa Soup, with masks - yes masks - as bacground. Weird props using, but a dear friend said that the picture resemble my authenticity.
Tulisannya cukup berat bagi aku, pointnya wokeh banget, tetapi kelihatan memang kemampuan berpikir dan menulisnya Kiki diatas rata2 ☺☺👍👍. Salam kenal di blog ya dari tukang tulis amatiran...ojok diguyu kalau ndelok blogku 😀☺
ReplyDeletewakakakak, menyalurkan obsesi dari penulis mbak, maap kalo ndaki-ndaki ya, anggep aja selingan hahaha. suwun wes mampir mbak Opi :*
Delete