Masih teringat jelas tengah malam sepuluh tahun lalu, saat
ketua UKM pers Tegalboto membawa Nikon D70 seharga 7 juta, generasi slr pertama
yang friendly user dan relatif terjangkau kala itu. Dia adalah teman yang
pertama kali memiliki kamera slr, sedangkan saat itu kami masih berkutat dengan
roll film dan cara membuat kamera lubang jarum. Saya membatin malam itu, suatu
hari nanti pasti akan memiliki kamera slr.
10 tahun kemudian seseorang yang enggan disebut namanya - tapi
tetap akan saya sebut sebagai Henny Marlina - datang dalam hidup saya, dan
mewujudkan mimpi itu. Dari beliaulah saya mendapatkan kamera Canon d1000 dan
membuat saya semakin tertarik ke dunia fotografi, terutama fotografi makanan.
My photography passion wouldn’t grow this big if it’s not because of her. Not
to say that camera phone is bad, for a full year I was using camera phone to
capture foods. Tapi gadget yang lebih mumpuni membuat banyak hal menjadi lebih
mudah, dan indah. Thanks her for trusting her first dslr to be mine, and I
promise her to keep this weapon carefully.
Ga bisa dipungkiri bahwa selama setahun terakhir ini
perhatian saya begitu banyak tersedot ke Food Photography. Motrek yang pada
awalnya hanya in the name of existence, no matter how bad the quality are,
semakin lama semakin niat. Dari mikirin konsep foto, melatih kepekaan cahaya
rumah untuk mendapatkan mood yang diinginkan, sampai terjebak pada properties
madness huahahaha. Yang terakhir ini, I guess I’m in the phase of addiction,
terutama buat barang-barang pintej. Kalo dihitung-hitung, sejak La_Binar
meracuni di bulan Juli, dalam 6 bulan terakhir ini saya memiliki lebih dari 100
peralatan makan (berbagai ukuran dan bahan sendok, garpu, pisau dll). Belum
lagi aneka cetakan kuningan, mangkok, piring, gelas, nampan, dsb. Memotrek
makanan (dan properti) menjadi rutinitas setiap hari. Dan justru di situlah
letak kegamangan saya beberapa hari terakhir ini.
Do I really want to be a food photographer? Errrr…..
I don’t think so.
Well maybe.
I don’t know.
Jujur saya ga tau jawabannya. I really like taking
photographs, but I’m not really into the business. Ok, this sentence has a deep
contradictions since I sell food photography properties on Instagram, muahahaha
*selfkeplak*.
Begini.
I love instagram. Saya banyak dapat ilmu fotografi dan teman
dari instagram and I couldn’t ask for more but thankful. But at some points, I
just feel that social media do not give us time to take some rest. Kita
dibombardir dengan limpahan arus informasi dan gambar setiap detiknya,
terutama, apalagi kalo kita follow banyak akun. They are wide awake 24 hours a
week, every single day, minute and second there will always a new picture from
somebody somewhere, it’s just too crowded but highly addictive at the same
time.
Iya iya saya tahu kalo semua tergantung usernya, apakah mau
mantengin socmed dan terjebak di dalamnya seharian atau cuma ngecek sesekali.
But once again, I don’t know…
I don’t classify myself as socmed freaks who tune into
socmed all day long. But I have to admit that I no longer can live without it.
Every single day, the first thing comes into my mind is check my account. In
the middle of doing something, I check them. When I’m doing nothing, I off
course check them and could spend hours just to checking, uploading then giving
comments. Technology has rooted in our life so deep, and I hate when it slowly
but surely control our life.
Silence fertilizes
the imagination
Couple days ago when I’m surfing thru feeds, I stuck on
brainpicker twitter account. The tweet are short, yet hit me deep inside. Silence fertilizes the imagination.
Kapan terakhir kali kita benar-benar sendirian tanpa
melakukan apa-apa? Kemungkinan besar saat baterei hape habis dan listrik lagi
mati atau ga ada jaringan wifi. Lalu kita pun pasti ngedumel sambil mengutip kata Hedy Lamarr “I can excuse anything but boredom”.
Menjadi manusia yang hidup di era digital seperti ini, wifi memuncaki piramida kebutuhan primer. Mau masak, gugling resep. Mau motrek buka pinterest. Mau nyapa teman buka instagram. Lagi hengot buka path. Mau curcol buka facebook dan twitter. Mau nonton buka youtube. Mau makan motrek dulu terus aplod. Mau keluar rumah, motrek OOTD. Habis belanja, aplod foto haul. Mau nonton gugling review film. Lagi reunian sama sahabat, yang ketemu cuma fisik tapi isi kepala tertuju ke gadget masing2. Bahkan di rumah lagi main sama anak sambil chatting di line. Nonton bareng suami sambil update status fesbuk. Sadar ga betapa kita sangat tergantung ke media sosial dan betapa kita tidak pernah dibiarkan “diam”?
Menjadi manusia yang hidup di era digital seperti ini, wifi memuncaki piramida kebutuhan primer. Mau masak, gugling resep. Mau motrek buka pinterest. Mau nyapa teman buka instagram. Lagi hengot buka path. Mau curcol buka facebook dan twitter. Mau nonton buka youtube. Mau makan motrek dulu terus aplod. Mau keluar rumah, motrek OOTD. Habis belanja, aplod foto haul. Mau nonton gugling review film. Lagi reunian sama sahabat, yang ketemu cuma fisik tapi isi kepala tertuju ke gadget masing2. Bahkan di rumah lagi main sama anak sambil chatting di line. Nonton bareng suami sambil update status fesbuk. Sadar ga betapa kita sangat tergantung ke media sosial dan betapa kita tidak pernah dibiarkan “diam”?
Padahal, begitu banyak karya-karya besar dunia lahir dari
kesenyapan. Pramoedya Ananta Toer merampungkan Tetralogi Pulau Buru dan beberapa
karya lainnya saat di pengasingan. Kartini yang tidak memiliki akses ke dunia
sosial dan intelektual masa itu menulis Habis Gelap Terbitlah Terang dan surat-surat
korespondensinya. Kondisi JK Rowling yang terpuruk dan depresi menjadi cambuk
untuk menulis Harry Potter. Don Quixote mahakarya Miguel de Cervantes lahir
dari sudut terali besi di Madrid. Tafsir Al Azhar ditulis Hamka saat dipenjara
Orde Baru. Ketiadaan fasilitas dan keterputusan dari dunia sosial justru
menyuburkan pemikiran dan imajinasi mereka.
Oke oke kita bisa membuat alasan kalo jaman kita beda,
tantangan beda lah cuy. Ga perlu ndakik-ndakik mbandingin sama sastrawan dunia
lah ya. Tapi apa iya dengan ngapdet status dan foto setiap hari akan membuat
diri kita jadi lebih baik? Apa iya dengan tahu diskon akhir tahun Fujifilm,
ngaplod foto hasil baking sampe memergoki Teddyphotos yang lagi hiatus ternyata
ngelike foto anjing milik Stuart akan sedemikian penting bagi eksistensi kita
di semesta raya ini? Apa iya dengan difollow ribuan orang, foto kita dilike
sampe ratusan, pujian mampir setiap menit, endorsement datang bertubi-tubi
berbanding lurus dengan hablum minannas kita di dunia nyata? Kita menyelamati
seorang teman yang berjarak ratusan mil dari kita, tanpa pernah tau seorang
tetangga sebelah rumah sedang sakit keras. Kita berpanjang-panjang bikin
caption tentang hari ibu, tapi ga pernah tahu kalo ibuk di kampung sedang
bingung rumahnya bocor. Teman bertambah secara kuantitas, tapi apa iya secara
kualitas? Apa dengan bertambahnya teman maya kita, bertambah pula kepedulian
kita ke saudara dan tetangga kita? Atau justru kita terlalu sibuk membangun
diri di dunia maya sampai kita ga tau si fulan sedang kesusahan, si fulan
meninggal, ipar lagi terlilit hutang, adik lagi patah hati, dsb dsb.
Isn’t it scary that strangers know you better than your
beloved? Kita mengumbar sedang apa, mikirin apa, makan apa, anaknya lagi apa
setiap saat, setiap waktu di socmed. Tapi bahkan kita ga tau apa masalah yang
dihadapi suami. Isn’t it scary that everybody knows about us, tapi suami kita
sendiri gtau apa yg kita pikirkan? Isn’t it scary kalo kita curhat di layar
ngomongin dari anak rewel, pengen ini itulah, suami begini begitulah, dan
setiap permasalahan rumah tangga; tapi sebaliknya, orang yang tinggal bersama
kita malah gtau apa-apa tentang kita? Isn’t it scary?
Life is not what happens in screens and feeds. And I’m
afraid I’ve been living my life in social media rather than in real life. I’m
afraid I’m getting in to socmed deeper than I thought and leaving my real life
in mess, neglecting my family’s need and experiencing everything in cyber space
rather than in reality. I am afraid that I don’t have power to balance between
the cyber social life and the real one.
By writing this, I know that most of you will not agree with
me and it’s fine. We are living different life, so we perceive life
differently. Ada yang memperlakukan medsos sebagai mata pencaharian, ladang amal,
tempat berbagi ilmu, berbagi resep, sampai ajang eksistensi. Dan itu sah, lha
wong akun akunmu kok. Ga suka tinggal unfollow, gitu aja toh. Tulisan ini
sekedar pengingat pribadi, bahwa saat ini, di titik ini, saya sedang sangat
ingin menjalani hidup tanpa riuh rendah media sosial dan lebih banyak menyesapi
kesenyapan. But as usual, entah keinginan ini bisa bertahan berapa lama. Bisa jadi
beberapa bulan berikutnya, atau sangat mungkin terjadi hanya 1-2 hari ke depan….huahahahaha
Cuy, eke rada giclek nih, Hamka bikin tafsirnya jaman orde baru apa orde lama yah? Bukannya jaman soekarno? *amnesia aku T_T
ReplyDeletecuy, aku baca ini semakin membulatkan tekat pen deaktip pesbuk (lagi).. but, don't know when...bwakakakaka...
ReplyDelete