Masih inget tulisan TentangProperti ini kan? Di situ saya berargumen bahwa berbeda dengan genre still life yang lebih luas, Food Photography (yang termasuk still life juga) memiliki batasan-batasan dalam penggunaan properti. Misalnya, wadahnya sop ya mangkok dong, bukan jerigen. Nah masih tentang properti, sekarang ekeh mau membahas memang sejauh mana sih peran properti di dalam Food Photography?
Pernah merhatiin ga iklan spaghetti
di tv atau di media cetak? Pernah ga mempertanyakan kenapa di samping spaghetti selalu ada garpu,
bukan sumpit? Sebaliknya di foto-foto/iklan ramen, soba, atau mie Vietnam Pho
selalu nangkring sumpit dan bukan garpu? Toh pada dasarnya mau soba, spaghetti,
fetucini sampe mie basah termasuk ke dalam famili mie (olahan tepung yang
dibentuk panjang-panjang).
Yup, inilah salah satu peran utama
properti (selain sebagai alat bantu makanan, entah membantu mewadahi atau
membantu cara makan), yaitu sebagai identitas. Pemakaian sumpit mencirikan
bahwa makanan tersebut berasal atau terpengaruh dari Asia Timur. Sebaliknya,
garpu menandakan masakan Barat. Jadi bila ada spaghetti disandingkan dengan
sumpit, bisa jadi itu adalah fusion
spaghetti yang menggunakan salah satu elemen khas Asia Timur (yang kemungkinan sih bumbunya).
Atau misalnya seperti masakan
daerah Indonesia, sebagian besar justru tidak menggunakan alat makan karena
budaya makan Indonesia menggunakan tangan langsung (muluk). Sehingga penambahan
mangkok berisi air sebagai kobokan lebih mengena untuk lalapan daripada sendok
garpu.
Loh loh, emang siapa yang
menetapkan peraturan bahwa spaghetti harus pake garpu, ramen pake sumpit atau
lalapan mesti pake tangan? Norma jawabannya. Norma adalah seperangkat aturan
tak tertulis (kesepakatan sosial) masyarakat/bangsa tertentu. Ga dosa dan ga
melanggar hukum kalo makan spageti pake sumpit (atau makan kastengel pake garpu ehem potonya siapa yaaaa dududududu), tapi norma yang berlaku saat ini tidak
mengajarkan demikian. Dan siapa yang melanggar norma, tidak akan dosa atau
masuk penjara, tapi kemungkinannya akan dicap nyeleneh, aneh, eksentrik, dsb.
Dan di dalam Food Photography, table
manner termasuk norma yang mesti ditaati.
Yang kedua, properti berfungsi
sebagai penanda (siginifier) atas
petanda (signified). Roland Barthes,
bapak Semiotika (ilmu yang mempelajari tentang tanda-tanda) menyatakan bahwa
segala jenis gambar selalu mengandung signifier
dan signified. Bila signifier adalah apa yang bisa ditangkap
mata (benda-benda/properti), maka signified
adalah pesan yang ingin disampaikan melalui pemakain benda-benda tersebut.
Bingung? Nih saya kasi foto lalapan.
Ayam goreng di wadah anyaman bambu yang
dialasi daun pisang ditemani sambal terasi di wadah gerabah. Di sekitarnya terdapat
wadah nasi yang terbuat dari anyaman bambu, air kobokan, anyaman bambu untuk wadah
sayur lalapan, serta serbet batik. Pada fungsi identitas, penggunaan gerabah, bambu,
daun pisang dan batik adalah clue
bagi audience luar bahwa makanan
tersebut berasal dari Asia Tenggara (Indonesia tepatnya).
Sedangkan menurut semiotika, penggunaan
properti tersebut (daun pisang, gerabah, anyaman bambu, batik: signifier), audience bisa menangkap kesan (signified)
Indonesia yang tradisional, hangat bersahabat, etnik, dan membumi. Coba
bayangkan bila lalapan tersebut difoto dengan konsep minimalis, dengan
menggunakan piring putih dan sendok garpu. Maka akan menghasilkan signified yang berbeda, yakni kesan
bersih dan modern.
Tunggu, jadi kalo begitu apakah
masakan Indonesia wajib difoto dengan aneka tetek bengek gerabah, daun pisang,
anyaman bambu atau rotan, batok kelapa, batik serta dengan penggunaan
warna-warna tanah untuk menguatkan kesan keIndonesiaan? Gimana dengan foto di
bawah ini?
![]() |
Foto milik Yang Tersempel Shanti |
Untuk yang jeli, tekonya adalah
teko khas Maroko, cangkirnya cangkir khas Turki (errr atau Jerman ya?), nampannya adalah kuningan asal Jawa, sedangkan item-item yang
dibalut parutan kelapa itu bukan Lamington Cakes asal Australia, tapi
ongol-ongol, panganan berbahan singkong asal Indonesia. Audience yang melihat gambar di atas bisa-bisa pusing pala berbi karena
sibuk menerka makanan apa itu, apakah jajanan khas Timur Tengah? Tapi ada
pandan, pandan berasal dari wilayah Asia Tenggara. Foto milik La_Binar tersebut
kemungkinan besar menyesatkan audience
bila tidak ditemani dengan keterangan. Kesimpulannya, seringkali gambar tidak bisa berbicara sendiri.
Kembali ke norma Food Photography, apakah
dengan begitu penggunaan properti nyeleneh yang tidak sesuai seperti foto
ongol-ongol di atas (atau foto kastengel dengan garpu milik Fiephan) bisa
dibenarkan atas nama kreativitas dalam Food Photography?
Lara Ferroni membagi Food
Photography ke dalam 4 mahzab besar: produk, komersil, editorial dan blogging. Foto
produk dan komersil menekankan pada food
as information itself, what we see is what we get. Kalo iklan cireng ya
foto cireng yang memenuhi lebih dari 50 persen frame. Karena itu foto produk
atau komersil selalu mengekspos hero sedemikian rupa, close up, terlihat sempurna tanpa cacat, dan jarang dipenuhi aneka
properti yang rame, cmiiw. Hal ini
sesuai dengan tujuan foto produk dan komersil, menggaet pelanggan
sebanyak-banyaknya agar tertarik dan membeli produk tersebut. Nah kalo iklan
cireng tapi fotonya kanji, air, bawang, gula merah, cabe, garam, ulekan dan
serbet; apa audience ga
terbengong-bengong itu iklan cireng atau foto mau rujakan?
Berbeda dengan mahzab advertorial
dan blogging yang lebih longgar. Fotografer/stylist memiliki ruang
seluas-luasnya untuk menunjukkan kreativitasnya serta ketidaksempurnaannya.
Tujuannya untuk membuat makanan terlihat nyata (bukan sempurna), bisa dibikin
oleh siapapun dan sebagai curahan mood
sang fotografer. Maka dari itu, ada ambience/nuansa
yang dibangun lewat permainan cahaya, properti, styling yang seringkali sangat personal. Hingga remah-remah kue pun
menjadi aksentuasi yang menguatkan arti homemade.
Pada foto advertorial dan blogging, foto seringkali tidak bicara sendiri. Ada
pengantar dari redaksi, keterangan atau caption
dari pemilik foto yang menjelaskan tentang suasana di dalam foto tsb, jenis
makanan, dsb.
Karena itu, kembali ke pertanyaan
di manakah letak ruang kreativitas di dalam FP? Jawabannya kira-kira tergantung
pada mahzab apa dulu. Untuk foto produk dan komersil, jawabannya jelas. Foto
sebisa mungkin berisi informasi yang lebih dari cukup sehingga tidak memerlukan
tambahan keterangan. Properti berfungsi sebagaimana mestinya. Table manner dijunjung tinggi. Contohnya
iklan spaghetti, selalu memakai garpu, bukan sumpit. Iklan air minum ya ditaruh
di botol aslinya atau di gelas. Ga ada cerita iklan air minum, airnya ditaruh
di gayung.
![]() |
bandroffle alias bandros waffle |
Sebaliknya untuk foto advertorial
dan blogging, pemilihan properti (dan bahkan bentuk/penampakan makanan itu
sendiri) justru menjadi ajang kreativitas fotografer/food stylist. Di sini, fungsi properti sebagai identitas dan signified/signifier jadi kabur. Norma
dan aneka pakem bebas ditabrak untuk menyampaikan sudut pandang/keinginan
fotografer/food stylist. Mau motrek
nasi pecel beralaskan tier kaca hayuk ajah. Mau motrek bandros yang dicetak ala
waffle juga sah-sah aja #pembelaan. Dengan catatan, ada keterangan di setiap
foto tersebut untuk memandu audience
agar tidak tersesat. Etapi tanpa keterangan pun juga sah, bila tujuannya untuk
memancing audience agar penasaran. Meski
begitu, apapun mahzabnya perlu diingat bahwa lagi-lagi tujuan Food Photography
adalah drooling factor ya, jadi mau
mengolah properti seperti apa saja, bila fotomu ga bikin ngiler ya…gitu deh…
*sambilngaca*
Anyway, saat lagi
nulis ini saya jadi mengamini kata beberapa teman food photographer yang bilang bahwa FP adalah salah satu genre
paling sulit di fotografi. Kita tidak cuma membuat makanan terlihat tempting dan mouthwatering, tapi ada pesan di balik itu semua. Setiap foto yang
kita jepret merupakan representasi identitas, nilai, prinsip, adat istiadat,
budaya bahkan kepribadian kita. Sehingga pemahaman mengenai itu semua wajib
kita miliki. Our food picture is the
ambassador of who we are, our culture, our country and ourselves as well. Jadi
kalo liat seorang fotografer pake properti serba vintej nan kuno, kira-kira kepribadiannya
yah macam nenek kita lah, sangat terampil, telaten dan penyayang. Kalo ada yang
selalu pake properti limited edition dari
designer dunia dengan harga yang bikin kita nangis, yah kira-kira beliau high class gitu lah ya. Nah kalo kayak
kita yang pake piring sango sisa ekspor dan serbet putih ikea sepuluh ribuan
kira-kira apa coba? Muahahahahaha… *bersatulah kaum jelata!!!*
So, sebagai penutup pembahasan
mengenai properti ini, bila lighting
berperan penting untuk menyampaikan mood, styling
dan komposisi sebagai pencipta keindahan foto, maka properti berfungsi sebagai
penguat cerita. That’s why, selalu ada
alasan untuk ngintip properti di sini dong *mengandung pesan sponsor *diulegramerame
Muahahaa...dateng2 ketawa. Lama nggak liat Mba Kiki di 52wfpp, sampe niat stalking dan akhirnya ngeklik link di bio. Pas bgt aku lagi (mau) belajar FP. Sering2 share ilmunya ya Kakaaak..eh iya, salam kenal. Doakan semoga eike segera belanja😁✌
ReplyDeleteMuahahaa...dateng2 ketawa. Lama nggak liat Mba Kiki di 52wfpp, sampe niat stalking dan akhirnya ngeklik link di bio. Pas bgt aku lagi (mau) belajar FP. Sering2 share ilmunya ya Kakaaak..eh iya, salam kenal. Doakan semoga eike segera belanja😁✌
ReplyDelete