Akhir 2004.
Pertanyaan itu menggelayut di benak sekian lama. Pertanyaan
yang terlontar dari mulut Pemimpin Umum Organisasi Pers Mahasiswa itu, “apabila
kamu dihadapkan pada situasi: melihat seseorang meregang nyawa sedangkan di badanmu
tergantung kamera; apakah yang akan kamu lakukan? Menolongnya atau
memotretnya?”.
Pada saat itu, tahun 2004 saat instagram dan aneka
media sosial yang menjadi wadah eksistensi manusia belum hadir dalam
ruang-ruang komunikasi kita; pada saat hanya ponsel super mahal yang memiliki
kamera dengan resolusi kurang dari 1 MB, pertanyaan akan etika versus seni
tersebut menjadi bahan renungan yang dalam. Barangkali bila pertanyaan tersebut
terlontar saat ini, di saat kita semua memiliki ponsel berkamera, tentu saja,
memotret orang meregang nyawa (sekaligus numpang selfie di sebelahnya) adalah
hal yang biasa (dan malah bikin popular) (note the sarcasm in my sentence ya).
Tapi bukan tentang pertanyaan itu yang hendak saya
ulas di celotehan kali ini. Tapi tentang James Nachtwey.
Beliau adalah fotografer perang yang karya-karyanya
banyak mengisi sampul majalah Time di tahun 80-90an. Apa hubungan Tuan Nachtwey
dengan paragraph pertama? Pertanyaan retoris di atas adalah pertanyaan yang
dilempar, dan dijawab sendiri oleh Nacthwey berdasar pengalamannya. Kala itu
tahun 1998 saat reformasi tengah bergulir. Beliau berada di Ketapang Jakarta
dan menyaksikan dengan mata kepala bagaimana perang berbasis SARA begitu
mudahnya mencabut nyawa seseorang. Di hadapannya ada seorang Ambon yang berlari
dikejar segerombolan orang bersenjata tajam. Sebagai orang “luar” yang
“netral”, beliau mencoba menghentikan tindak pembunuhan tersebut. Hingga dua
kali beliau memohon, tapi massa tak menghiraukannya. Dan kita tahu pada
akhirnya. Nachtwey menangkap momen pembunuhan tersebut melalui lubang
kameranya. Dia gagal menolong orang tersebut, namun batinnya, dengan memotret
dan mengabarkannya pada dunia barangkali mampu menolong jutaan orang lain agar
tidak terjerembab pada akhir tragis yang sama: korban konflik. Nachtwey yang
membekukan masa perang dan terror seolah selalu mengingatkan kita akan masa
lalu. Bahwa udara yang kita hirup detik ini tak pernah lepas dari pengorbanan
dan darah jutaan manusia yang namanya tak tercantum dalam teks pelajaran
sejarah.
James Nachtwey adalah sosok pertama yang membuat
saya jatuh cinta pada fotografi. Dan Afrika. Dan studi tentang perdamaian dan
perang. Karenanyalah pada masa itu saya bercita-cita menjadi aktivis perdamain
di perbatasan Kenya. Ya ya ya, kalian semua boleh ngakak menertawakan saya yang
ga bisa berenang dan takut kucing ini; tapi setiap orang, entah apapun
statusnya, entah siapapun dia kini, tak pernah terlarang baginya untuk memiliki
mimpi kan?
Seorang kawan yang dengannyalah saya berbagi mimpi
(yang kebetulan pada saat itu mimpi kami tak jauh berbeda), saat ini sedang
menapaki mimpinya. Ia melanjutkan studi ke jenjang tertinggi, berkeliling
dunia, berdiskusi dengan profesor-profesor yang dulu namanya hanya sempat kami
eja di buku diktat kuliah, menulis di media besar nasional bahkan jurnal
internasional. Tapakan impian yang dulu kami idamkan, sedang dijalaninya saat
ini. Sedangkan saya?
Saat saya mengetik curhatan ini waktu menunjukkan
pukul sebelas malam, anak-anak telah terlelap setelah seharian tadi si bocah
tak henti-hentinya menggoda saya, dari mencampuri sesi pemotretan, menabur
bedak di karpet dan menganggapnya badai salju hingga menangis meraung-raung
minta ke supermarket di jam 9 malam. Setelah si bayi yang tak bisa saya tinggal
itu, yang bahkan harus saya gendong dan susui saat saya sedang mencuci piring,
memasak hingga memotret itu, habis diperiksa dokter dan ternyata menderita
tongue tie yang membuat berat badannya susah naik. Saya yang saat ini dengan
badan linu semua, berdaster, dengan koyo menempel dari pundak sampai lutut,
lupa kapan terakhir kali menyisir rambut, selama 24 jam setiap harinya
disibukkan dengan aktivitas domestik dari setrikaan segunung sampai rencana
tamasya anak TK.
Merenungi bagaimana semua ini berawal – mimpi – dan
bagaimana saat ini (belum akhir) – realita – membuat saya tertawa. Bahwa
ternyata, suratan takdir begitu sulit diterka. Bagi orang lain, katakanlah
teman saya di atas, kebahagiaannya adalah menyusuri jalur sunyi menjadi seorang
akademisi. Dan segigih apapun saya dulu mengejar mimpi menjadi aktivis
perdamaian di Kenya bertahun lalu, ternyata saya bahagia dengan hidup saya yang
sekarang. Yang setiap harinya juggling mengurus kegiatan rumah tangga sambil
menyelipkan hobi di sela-selanya. Dan ternyata lagi, meskipun melenceng dari
cita-cita mulia sebagai penjaga perdamaian dunia, saya sedang menjalani mimpi
saya saat ini: seorang ibu rumah tangga yang memegang kamera. Meski yang saya
abadikan bukan wajah keberingasan perang; namun hasil karya manusia yang mampu
membuat mulut beringas untuk segera melahapnya: food photography.
Dengan demikian, meski kita berbeda aliran, saya
ucapkan terima kasih kepada Pak James Nachtwey yang pernah memercik mimpi saya J
Back to the purpose of this blog: recipe and food
photography. September lalu dapat kiriman ragi organic kering dari mbakyu
@tarivc, seorang kawan instagram asal wrongthree yang kini tinggal di negeri
Napoleon. Seneeeeng banget! Secara ya, selama ini udah bikin ragi alami 3 kali
lebih dan selalu gagal dong :D
Jadi berbekal dried sourdough tersebut, hampir
semingguan saya ngebut bikin roti (yang 2 resepnya dari beliau semua),
berkejaran dengan hari perkiraan lahir si bayi. Ada 3 macam roti yang saya
bikin, so siap-siap ngantuk baca resep panjang kali lebar ya.
1. Pain
au Levain Fermentescible
500 gr tepung protein tinggi
20-21 gr sourdough kering (11gr bila pake ragi instan)
13 gr garam
340 ml air matang
Cara membuat:
Campur bahan kering di wadah. Tuang air sedikit demi sedikit sambil diuleni hingga rata dan kalis (saya ga sampe elastis).
Tutup, istirahatkan selama 2jam di suhu ruang.
Tinju adonan hingga kempes, uleni sebentar, bentuk bola, taruh di loyang, tutup serbet basah, istirahatkan lagi 1jam.
15 menit sebelum dipanggang, panaskan oven suhu 250C.
Tuang air panas di loyang kue, lalu masukkan loyang berisi air panas tsb ke dasar oven (metode steam bake/au bain marie). Gurat permukaan roti dg pisau tajam lalu panggang selama 30 menit atau sampai permukaan roti kecoklatan.
Keluarkan dari oven, tempatkan di rak kawat hingga dingin.
Hirup aromanya saat mengiris, nikmati kebahagiaan bikin roti homemade utk keluarga
20-21 gr sourdough kering (11gr bila pake ragi instan)
13 gr garam
340 ml air matang
Cara membuat:
Campur bahan kering di wadah. Tuang air sedikit demi sedikit sambil diuleni hingga rata dan kalis (saya ga sampe elastis).
Tutup, istirahatkan selama 2jam di suhu ruang.
Tinju adonan hingga kempes, uleni sebentar, bentuk bola, taruh di loyang, tutup serbet basah, istirahatkan lagi 1jam.
15 menit sebelum dipanggang, panaskan oven suhu 250C.
Tuang air panas di loyang kue, lalu masukkan loyang berisi air panas tsb ke dasar oven (metode steam bake/au bain marie). Gurat permukaan roti dg pisau tajam lalu panggang selama 30 menit atau sampai permukaan roti kecoklatan.
Keluarkan dari oven, tempatkan di rak kawat hingga dingin.
Hirup aromanya saat mengiris, nikmati kebahagiaan bikin roti homemade utk keluarga
2. No
Knead Baguette
450 gr tepung
315 ml air
9 gr garam
1/2 sdt dried sourdough
Cara membuat:
Campur bahan kering di wadah bersih, tuang air sambil diaduk dg sendok kayu
sampai rata. Adonan akan lengket. Tutup dg plastik, istirahatkan di suhu ruang
temp 20C selama 12-18 jam (saya: simpan di kulkas rak bawah selama 20jam).
Adonan roti telah siap bila sudah mengembang dan muncul gelembung2 udara.
Taburi tepung secukupnya di meja kerja, ambil adonan dan uleni sebentar (taburi
tepung sedikit demi sedikit bila adonan sangat lengket). Bagi adonan, bentuk
panjang, letakkan di loyang (saya bagi 3 tak sama rata). Tutup dg serbet,
istirahatkan 2jam. Saat sudah mengembang, dg pisau tajam, gurat permukaan
baguette.
Panaskan oven suhu 250C. Dg metode steam bake, panggang baguette selama kurleb
30m atau sampai kecoklatan.
Angkat, dinginkan di rak kawat.
Siap dinikmati gitu aja dg olesan butter atau diolah jadi baguette sandwich,
garlic bread, bruschetta dsb
3. Brioche
Au Levain Fermentescible
No comments