Membahas
tentang pro kontra media sosial memang tidak akan ada habisnya, terutama di
masa sekarang saat masih terasa hangat gegar gempita pilgub Jakarta yang bikin
beranda fesbuk jadi medan perang. Di satu sisi, media sosial memang menjadi
senjata ampuh untuk menyebarkan pesan (berantai). Sekali klik, sebuah informasi
yang belum tentu benar mampu menjalar tanpa arah, tanpa saring; kecuali kita
sendiri yang mau bersusah payah memilih dan memilah sambil menelusuri kebenarannya.
Teman jadi lawan. Sodara jadi musuh gara-gara beda pendapat, nilai, golongan.
Sedangkan
dari sisi antropologis, perangkat teknologi yang memuat media sosial ini begitu
kuatnya hingga mengubah cara hidup kita. Ponsel (beserta wifi) serupa udara
yang kita hirup, yang kita tak mampu hidup tanpanya. Dari bangun tidur, makan,
mengasuh anak, masak, berjalan, di kendaraan sampai di toiletpun; ponsel selalu
di genggaman. Kita lebih bingung kehabisan baterai atau kehabisan paket data
atau tak memiliki jangkauan wifi daripada ketinggalan dompet.
Dan di
titik inilah saya capek.
Sejujurnya
di balik sisi kelam sosmed di atas, tak bisa dipungkiri betapa sosmed juga
berpengaruh positif di kehidupan. Lewat Instagram, saya menemukan salah satu
passion saya: motrek makanan. Lalu hobi itu bergulir semakin besar bagai bola
salju: bertemu dan berteman dengan orang-orang yang sangat menginspirasi,
meningkatkan kegemaran akan masak dan baking (termasuk ngumpulin properti foto)
hingga beberapa kali mendapatkan duit karena diendorse, menang kuis atau jadi
buzzer sebuah produk makanan. It was so much fun, indeed.
Tapi
kembali ke paragraf di atas, tanpa sadar tiga tahun terakhir ini saya semakin
banyak menghabiskan waktu untuk memotrek dan instagraman. I build my life in
instragam, but I forgot my real life. Gambar di Instagram adalah imaji yang
saya bangun, suasana yang ingin saya tunjukkan; meski pada kenyataannya sangat
berbeda (my picture is not my real life). Wait,
when I write virtual vs real life, I don’t mean to talk about art stuffs
(artist’ imagination to escape vs create reality until philosophy stuffs like
Baudrillard’s (confusing) simulacrum).
Begini,
sebagai manusia kita punya fundamental
need to seek for acceptance and affirmation. We always hunger for positive
confirmation of everything we do. We wanted to be accepted, we wanted our works
to be accepted. But sadly, in social media, the confirmation comes from
numbers. Semakin banyak jumlah followers, semakin banyak jumlah like, maka
semakin tervalidasi keakuan kita (aduh
jadi inget lagunya mas Anang dan mbak KD ….cermin sikapmu yang mampu memendam
rasaaaaa… keakuanku….). (Efek lanjutannya sih, kebanyakan, makin banyak
jumlah followers, makin besar pengaruh kita, dus makin banyak
sponsor/endorsement berdatangan). Again,
it was fun. To have a power. To voice our mind (sah sah aja nyelipin pesan
pribadi/sponsor di caption). To share. To know that some people follow, recook,
rebake, inspired by our account/pictures/captions.
Sampai
sebagian besar waktu tersita gara-gara Instagram. Dudududududududu. Bocah
merengek minta makan, emaknya masih sibuk motrekin makanan setengah matang
(biar warna dan teksturnya kelihatan cakep). Atau sudah matang, tapi waktu
disajikan ke keluarga udah pada dingin dan letoy (#sorrynosorry hun :P). Udah
janji bikin ayam kentaki rikues bocah tapi putar haluan masak ayam bumbu rujak
gara-gara mau nyocokin menu nasi kuning yang santannya dari sponsor.
Berkali-kali absen bacain buku karena sibuk motrek. Berkali-kali kecapekan ga
ngantar bocah ngaji (yang tentu saja bocahnya kesenengan). Berkali-kali cuma
jawab singkat Hmmm, Iya, Iya tah, Oke,
Hmmmm saat diajak ngobrol bocah gara-gara kepala emaknya nunduk terus sibuk
komen-komenan di Instagram.
Berkali-kali beli ini itu gegara fotojenik, tapi
habis difoto, masuk kulkas sampe rusak dan akhirnya kebuang (mubazirrrr!!!!).
Beberapa kali ngotot bikin ini itu demi difoto padahal juga ga ada yang makan
pfffffttt. Berkali-kali ga nepati janji ke bocah gara-gara sibuk motrek, sibuk
instagraman. Rumah berantakan karena habis masak dan motrek ga langsung
dirapihin, malah ndahuluin nginstagram dududududududu. Berkali-kali duit
belanja kurang karena beli props ooooops :D. Dan setelah dipikir-pikir, dengan
betapa pengertiannya suami dan bocah, saya ngerasa ga adil…
It’s not
fair to defend taking picture and Instagram as my me time while I forget my
duty as wife and mother. It’s not fair to ban my son from smartphone while his
mom keep on playing Instagram. It’s not fair to think over my picture, the
styling and composition, what will I bake/cook tomorrow, arrange sentence to
make caption; while I was spending time with my family. It’s not fair that I
should have done more useful things to do (like reciting Quran, talking to
neighbor, calling my mom, teaching my son, telling stories to my daughter,
chatting with husband, take a really long bath, sports, writing, etc) than
surfing on Instagram. It’s just not fair that somehow, slowly, Instagram has took
over my life.
Saya memang
ga stand by 24 jam di Instagram, ngelike dan komen foto teman-teman (bahkan
balesin komen di foto saya sendiri aja jarang). Tapi untuk saat ini saya
ngerasa udah overload, I need to be more focus on my real life than the virtual
I built in Instagram. Gile cuyyy, 2 bocah masih balitaaaaa. Cant deny that
Instagram gave me a lot. It was my outlet of my works. I find and make friends
from it. I earn money from Instagram, too. But I guess I am not ready for
Instagram, not right now. Maybe later, when I’m no longer a hero for my kids.
But now, what my kids need is their mother, not only physically, but also
mentally, psychologically, wholeheartedly.
So by this,
I rest my case.
I’ll see
you, not very soon, Instagram.
Dan kepada
teman-teman semua, terima kasih untuk pertemanan indah selama ini. Semoga kita
tetap lanjut silaturahim di luar IG *hugs
No comments