Saat masih
kuliah dulu, saya bercita-cita, jika kelak memiliki anak perempuan akan saya
namai Liyan. Liyan atau dalam bahasa Inggris The Other adalah konsep
fundamental dalam pemikiran Simone de Beauvoir di bukunya The Second Sex. Meminjam
modus “Ada” pada manusia dalam filsafat Eksistensialisme Jean Paul Sartre,
Beauvoir berpendapat bahwa dalam relasi laki-laki dan perempuan, laki-laki (Diri,
Subyek) memandang perempuan sebagai Liyan, sebuah obyek yang tidak dapat
berdiri sendiri. Tak hanya dapat berdiri (eksistensi) sendiri, Liyan juga
dipandang sebagai ancaman bagi Diri, maka di sinilah sumber subordinasi
laki-laki terhadap perempuan. Perempuan harus ditundukkan karena ia adalah
ancaman laten dan manifest bagi eksistensi laki-laki.
Namun tak
terbatas pada feminisme, konsep Liyan juga banyak dipakai untuk menjelaskan
tentang sesuatu yang tak terpecahkan, tak terhitungkan, yang terpisah dari
keDirian kita. Pada satu titik, Liyan adalah ancaman, namun bukankah apa-apa
yang berada di luar kita adalah ancaman karena ketidaktahuan kita tentangnya?
Alasan lain
pemberian nama Liyan, adalah karena Goenawan Mohamad. Catatan Pinggir adalah
manuskrip pertama yang membuat saya jatuh cinta pada dunia literasi, jauh
sebelum cinta saya pada Matilda dan Little Prince. Lahir dan besar dari orangtua
yang tak pernah mengenyam pendidikan tinggi, alm Bapak mengajarkan kecintaan
pada aksara saat ia – seorang sopir di pabrik rokok – berlangganan majalah
Tempo. Bagi bapak, membaca Tempo adalah secuil surga yang ia nikmati setelah
seharian bermandikan peluh di jalanan. Saya masih ingat benar, saat kelas dua
SD, saya hafal semua nama menteri di kabinet Pembangunan beserta nama ketua DPR
dan MPR. Saya ikut ngobrol dengan bapak tentang perpecahan di PDI, antara
Soerjadi dan Megawati. Saya tidak mengerti arti komunisme, kapitalisme,
Marxisme, hingga usaha Fritjof Capra untuk menjembatani sains dan agama di
bukunya The Tao of Physic; namun otak saya sudah sedemikian familiar dengan
nama dan konsep-konsep asing tersebut. Dan ya, Goenawan Mohamad adalah orang
yang memperkenalkan istilah Liyan ke dalam kamus bahasa Indonesia.
Maka nama
Liyan saya pilih bukan hanya karena ia adalah salah satu konsep terpenting di
Feminisme, namun juga karena ia mengandung kenangan akan Bapak. Bapak yang
ternyata seorang Liyan: sopir miskin yang dengan kurang ajarnya berlangganan
majalah Tempo yang tentu saja harganya tidak murah.
Sekitar
bulan Juni-Juli tahun lalu, saat bidan dengan yakin menyatakan bahwa janin yang
saya kandung berjenis kelamin perempuan, saya memutuskan untuk tidak menamainya
Liyan. Entah karena didorong naluri sebagai orang tua yang ingin melindungi
anaknya, bagi saya Liyan adalah sebuah resiko. Menamai Liyan berarti
mengharapkan keLiyanan pada anakmu, dan ternyata saya tidak cukup kuat untuk
menanggungnya saat ini. Saya menyadari bahwa saya tidak memiliki hak untuk menginvestasikan
harapan terlalu besar padanya. Saya ingin, biarlah dia sendiri yang menentukan
jalannya, bukan saya ibunya. Entah apa kelak ia menjadi Liyan atau Diri, cukup
dia, pengalaman serta pilihannya yang akan membuatnya menjadi. Seperti halnya
pilihan saya untuk tidak menindik telinganya, yang bagi saya adalah memberinya
pilihan ketika ia besar nanti. Bagi saya dan suami, masalah tindik telinga ini
sangat sepele; namun ternyata tidak bagi keluarga besar, tetangga serta
teman-teman kami. Bagi mereka, penanda perempuan salah satunya adalah tindik di
telinga :D. maka tanpa saya menamainya Liyan-pun, saat ini Z sudah menjadi
Liyan di mata handai taulan kami yang memandangnya aneh (dan berkali-kali menganggapnya anak
laki-laki). Oh well….
Nah dalam
dunia perglepungan, bagi saya tepung ketan hitam adalah liyan. Selain karena
warnanya, teksturnya pun sangat berbeda dari tepung-tepungan. Meski namanya
black glutinous rice, namun ketan hitam ternyata tidak mengandung gluten. Nama
glutinous merujuk pada teksturnya yang lengket seperti lem yang disebabkan oleh
kandungan amylose dan amylopectin yang tinggi. Saat diolah, teksturnya berpasir,
legit dan rasanya sangat khas: sedikit terasa kacang (nutty) dengan selintas
rasa manis alami. Di Indonesia tepung ketan hitam banyak diolah menjadi aneka
jajan tradisional seperti Bugis, Kue Ku atau Getas. Untuk cake yang paling
sering ya ini: Sifon Ketan Hitam. Aduhhhh, tekstur empus-empus ala sifon ketemu
ketan hitam yang berpasir dan legit, huah susah berhentinya. Enak. Enak. Enak!
Sifon Ketan
Hitam
Adonan A:
40 ml
minyak sayur
65 ml
santan kental
5 kuning
telur
100 gr
tepung ketan hitam
Adonan B:
5 putih
telur
80 gr gula
pasir
Cara
membuat:
Panaskan
oven 170 C.
Campur adonan
A jadi satu di mangkok, aduk dengan kocokan kawat, sisihkan.
Campur
adonan B jadi satu di mangkok lain, kocok dengan mixer kecepatan tinggi hingga
jambul petruk (saat mangkok dibalik adonan tidak tumpah).
Aduk balik
Adonan B ke adonan A dalam tiga tahap.
Tuang ke Loyang
sifon, hentakkan 3 kali agar gelembung udara keluar.
Panggang hingga
matang sekitar 40 menit.
Angkat,
balik Loyang hingga dingin.
Keluarkan
cake dengan disisir sekelilingnya menggunakan pisau tipis.
Potong-potong,
sajikan.
No comments