Indonesia Dalam Masakan
Pada tahun
1958 Indonesia berada pada masa krisis pangan akibat lonjakan pertumbuhan
penduduk yang cepat namun tidak disertai dengan peningkatan produksi beras.
Gejolak pangan yang terus terjadi menginspirasi Sukarno untuk membuat suatu
buku yang “memuat daftar kekajaan makanan
Indonesia serta susunan zat-zat bahan makanan jang resmi bagi Indonesia”
(xiv). Beliau menginginkan rakyat Indonesia tidak hanya terpaku pada beras,
namun juga memanfaatkan aneka sumber makanan pokok yang selama ini jarang
tersentuh. Maka Mustikarasa lahir sebagai salah satu ikhtiar Sukarno mewujudkan
politik self reliance atau percaya
pada kekuatan sendiri.
![]() |
Nasi Kukus Mustikarasa, 195 |
Mustikarasa
membutuhkan waktu selama tujuh tahun untuk menghimpun 1600 resep yang berasal
dari berbagai daerah di Indonesia. Proses pengumpulan resep memakan waktu
terlama karena begitu banyaknya resep yang tidak lengkap atau keliru, “sehingga kadang2 perlu diadakan cooking test
untuk memeriksa kebenaran susunan resep…” (xxx).
Namun
dengan berbagai kendala dari metode pengumpulan resep hingga peristiwa 30 S/PKI
yang mengkudeta Presiden Soekarno dan mau tak mau memutus berbagai kebijakan politiknya
di tengah jalan, termasuk proyek Mustikarasa. Hasilnya, Mustikarasa terbit
dengan banyak sekali kesalahan, baik asal resep hingga komposisi bahan maupun
instruksi yang tidak lengkap.
![]() |
Balung Kuwuk Mustikarasa, 808 |
Misalnya,
mengapa makanan asal Spanyol seperti Tortilla ala Indonesia (203), Tortilla
Guadalajara (204), Chateau de Sumatera (849), Champurado dan Chilaquiles (850) hingga
Polenta (1058) dimasukkan ke dalam buku yang diterbitkan ulang oleh penerbit
Komunitas Bambu ini? Atau sejak kapan Tegal memiliki makanan khas berupa Taart
Nasi (1105), Balado Teri yang tertulis berasal dari Rembang (398), Rendang
Djengkol dari Purwokerto (686) atau Betutu dari Banten (403)? Bahwa kuliner
Indonesia banyak terpengaruh oleh Arab, Tionghoa dan Belanda adalah sebuah
fakta sejarah yang tak bisa kita pungkiri. Namun mengklaim Tortilla yang berbahan
dasar Tepung Jagung (tepung jagung di sini berarti polenta, jagung kering yang
dihaluskan; meski di Bab Bahan Makanan yang ditulis oleh Harsono Hardjohutomo
tepung jagung didefinisikan sebagai maizena, 10) hanya karena pada saat itu
Presiden Sukarno sedang giat menggalakkan Politic
Self Reliance untuk memanfaatkan secara maksimal hasil bumi Indonesia selain
beras; merupakan sebuah pemaksaan kehendak.
Sebaliknya,
makanan tradisional khas daerah seperti Bingka, Soto Banjar, Ipau, Krengsengan,
Ayam Taliwang dan Beberuk, maupun aneka masakan khas luar Jawa banyak yang tidak
terdokumentasi buku setebal 1200 halaman ini. Dari 1600-an resep, 900
diantaranya yang beridentitas daerah, 440 berasal dari Jawa, 184 dari Sumatera dan
sisanya Sulawesi (95), Bali (73), Kalimantan (48), Madura (41) dan lainnya
(Nusa Tenggara, Irian, Maluku, Timor).
![]() |
Abug Matjan Ubi Kaju (Bali) Mustikarasa, 794 |
Tak hanya
itu, beberapa resep juga tidak menyertakan bahan pembuatnya yang demikian
krusial. Gula dan Daun Jati misalnya, dua bahan penting dalam pembuatan gudeg
justru tidak tercantum di resep Gudeg Jogja (450). Padahal kita semua tahu
bahwa yang membuat warna kemerahan pada Gudeg adalah daun Jati serta manis
legit Gudeg adalah hasil karamelisasi gula aren setelah dipanaskan
berulang-ulang. Atau Serai dan Daun Jeruk Purut yang absen dari Resep Sate
Lilit Bali (746) yang membuatnya wangi. Atau ketiadaan bumbu Base Genep di
Betutu (di Mustikarasa ditulis berasal dari Banten, 403) namun bahan dan cara
pembuatannya justru mirip Ayam Kodok.
![]() |
Gudeg (jogjakarta) Mustikarasa, 450 |
Atau bila
menyentuh ke teknis resep, seperti misalnya Taart Gulung (1102). Bila dilihat
dari bahan dan cara pembuatannya, Taart Gulung ini serupa Bolu Gulung
(komposisi tepung vs telur 1:6; dibakar di Loyang tipis, dioles selai lalu
digulung). Namun sejauh pengetahuan saya, Bolu Gulung selalu menggunakan Tepung
Terigu (bisa protein sedang atau rendah), bila ada maizena maka hanya beberapa
sendok yang difungsikan agar tekstur lebih kokoh. Tapi di resep Taart Gulung
satu-satunya tepung yang digunakan adalah tepung jagung.
Atau pada
Kue Mendut (970). Mendut atau Bugis adalah jenis kue basah berbahan dasar
tepung ketan, berisi unti kelapa dan dibungkus daun pisang. Di resep ini,
tepung ketan yang dibutuhkan untuk membuat kue Bugis dengan jumlah satu butir
kelapa adalah satu sendok teh. Bagi saya ini kesalahan fatal, apalagi untuk
buku yang dicetak ulang.
![]() |
Citroentaart (menggunakan tepung garut) Pandai Masak, 110 |
Bila
dibandingkan dengan buku masak di periode yang sama, misalnya buku Pandai Masak
oleh Njonja Rumah, terlihat sekali perbedaannya. Terbit pertama kali tahun 1957,
Pandai Masak adalah kumpulan resep yang sebelumnya telah diterbitkan di surat
kabar Star Weekly. Beberapa resep di Mustikarasa juga terdapat di Pandai Masak,
namun terdapat perbedaan yang cukup mencolok, misalnya pada resep Kue Mangkok.
Di Buku Mustikarasa, kue kukus berbahan dasar tepung beras ini menggunakan soda
kue sebagai bahan pengembangnya. Sedangkan di Pandai Masak menggunakan campuran
tape beras, air kelapa dan legen. Begitu pula untuk resep Kue Bikang Ambon yang
menggunakan tape beras sebagai ‘ragi’nya di Pandai Masak, sedangkan di
Mustikarasa (Tjara Bikang, 1122) malah tidak menggunakan bahan pengembang
apapun. Di sini Njonja Rumah menunjukkan kelasnya sebagai ahli masak klasik
yang masih memegang teguh kearifan lokal namun juga menyambut hangat modernitas
kala itu (untuk kue tradisional menggunakan ragi dari tape beras, namun untuk
roti-rotian yang asalnya dari Barat menggunakan gistkorrels: ragi instan).
![]() |
Roti Kukus Pandai Masak, 86 |
Tujuan
Sukarno yang ingin memperkenalkan bahan non beras di Mustikarasa, nyatanya
hanya terbatas pada jagung, terigu dan umbi-umbian (gaplek, tepung singkong,
ubi jalar, talas, kentang dan gadung) untuk bahan utama karbohidrat. Sebaliknya
di buku Pandai Masak yang hanya berisi 400 resep, terdapat aneka pengganti
tepung terigu seperti tepung pisang dan aroowroot (tepung garut), selain
kentang, gaplek, singkong dan ubi.
![]() |
Lepet Djagung Pandai Masak, 91 |
Dari
perbedaan di atas , sebagai penikmat buku resep saya lebih condong ke buku
Pandai Masak sebagai buku masakan klasik. Satu,
karena ia ditulis oleh satu orang (atau tim) yang sama, yaitu si Njonja Rumah
yang telah memiliki dapur uji coba sendiri. Karena ditulis oleh satu orang (atau
tim), maka terdapat standardisasi yang pasti, dari ukuran hingga gaya bahasa. Dua, karena resep-resep dalam Pandai
Masak dipastikan telah melalui serangkaian uji coba. Pandai Masak adalah
kumpulan resep yang pernah diterbitkan di Star Weekly, sedangkan resep-resep
tersebut sebagian besar adalah resep kiriman pembaca yang kemudian dicoba oleh
Njonja Rumah, nama pena Julie, sosok wanita Tionghoa yang kaya pengalaman akan
seni memasak sejak masa kolonial. Tiga,
ia disunting oleh orang-orang yang bergelut dalam bidang jurnalistik dan
kuliner sehingga bahasa yang digunakan sangat mudah dimengerti dan disertai
aneka tips yang sangat bermanfaat.
![]() |
Opak Gulung Pandai Masak, 106 |
Perbandingan
antara kedua buku resep sejaman ini penting untuk mengetahui seberapa presisi
resep tersebut. Dan tepat di titik itulah saya menilai Mustikarasa sebagai buku
resep tidak cukup mampu mengemban amanat Presiden Soekarno untuk menjadi buku
makanan yang menjadi kiblat masakan orang Indonesia.
Maka
menjawab pertanyaan Andreas Maryoto saat menulis resensi di Kompas tentang
mengapa Mustikarasa “…“…tersimpan lama
dan tidak dikenal di ranah publik berpuluh tahun… . Buku ini lebih banyak
dikenal oleh para kolektor dibandingkan para pencinta kuliner…”, barangkali
jawabannya bukan karena buku ini terlalu Soekarnois atau karena produk Orde
Lama. Namun karena sebagai buku resep, Mustikarasa tidak teruji. Ada terlalu
banyak salah resep baik dari sisi resep yang tidak lengkap, salah bahan atau
salah instruksi serta resep-resep yang Jawa-sentris untuk bisa mewakili
Indonesia. Ibaratnya, resep-resep dalam Mustikarasa adalah kumpulan resep yang
asal jadi yang dibuat dengan tergesa-gesa dan tidak banyak melibatkan
orang-orang yang bergerak di wilayah kuliner, baik dari sisi praktisi hingga
jurnalisnya. Pun sayangnya, penerbit Komunitas Bambu juga mengulangi kesalahan
ini dengan tidak melakukan penyuntingan resep yang signifikan. Saya curiga
bahwa penyunting kurang memahami dunia kuliner dan tidak benar-benar membaca
detil setiap resep di buku setebal 1200 halaman ini.
![]() |
Sambal Tjangkediro Mustikarasa, 789 |
Namun meski
begitu, bila kita memperlakukan Mustikarasa sebagai salah satu buku sejarah
akan kebangkitan kuliner Indonesia, maka buku setebal 1200 halaman ini memang
wajib dikoleksi. Terlepas dari berbagai kekurangannya, Mustikarasa adalah
tonggak kebangkitan gastronomi Indonesia. Ia lahir dari buah pikiran Sukarno
yang mencita-citakan keragaman masakan Indonesia terekam dalam satu cetak biru
buku masakan. Di buku ini, pembaca sedikit banyak dapat merasakan nafas juang
Sukarno, para menteri terkait hingga ibu-ibu PKK yang bergotong royong
menampilkan kebhinnekaan Indonesia dalam masakan. Dan atas dasar itulah, buku
ini layak dikoleksi oleh siapa saja yang tertarik dengan gastronomi Indonesia.
![]() |
Rengginang Mustikarasa, 1069 |
Sumber
Pustaka
Fadly
Rahman. 2016. Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia. Gramedia Pustaka
Utama.
Harsono
Hardjohutomo (et.al). 2016. Mustikarasa: Resep Masakan Indonesia Warisan
Sukarno. Cetakan Kedua, Komunitas Bambu.
Majalah
Kenduri. Edisi Juli 2017.
Njonja
Rumah. 1965. Pandai Masak jilid 1. Jakarta: KINTA.
Nemu blog ini tadi lewat IG.
ReplyDeleteJadi makin minder liat foto-foto sendiri yang amat sangat biasa saja.
Wah, dua buku masakan yang wajib di koleksi tuh. Saya baru tahu lho ada buku masakan warisan Presiden Sukarno.