Selama ini aku tak pernah menganggap serius instagramku.
Kupikir, aku hanya mengerjakan hobiku, motrek, suting dan baking. Tak pernah
dengan sengaja menganggap apa yang kulakukan sebagai suatu pekerjaan. Karena
diam-diam, aku takut dicap “trying so hard to get money”. Aku ingin bebas
kepentingan, netral, bersih, tanpa salah dan dosa. Aku ingin apa yang kulakukan
didasari kemurnian hati dan niat baik tanpa embel-embel jualan sesuatu. Aku
takut dicap miring, matre, ambisius, dsb. Aku takut dicap, apa uang belanja
dari suami itu kurang kok ya masih ngebet cari duit? Tanpa sadar, aku
menganggap kaya itu tidak berkah. Aku takut kaya.
tapi di saat yang bersamaan, aku takut miskin. Aku ga mau miskin. Aku pernah miskin dan itu tidak enak, harus memikirkan apakah besok masih bisa makan, masih bisa bayar ini itu, ingin ini itu tapi harus menahan, ngempet, atau malah melupakan karena tidak mungkin bisa tercapai. Tiap kali membeli sesuatu, dipikir lamaaaa. Bukan, alasan sebenarnya bukan zero waste. Tapi karena hidup terbiasa sedemikian ngirit, sampai ngga tau caranya bersenang-senang hahahaha. Pernah ga kamu nyimpen baju bagus bertahun-tahun saking sayangnya sama baju itu, nunggu waktu yang tepat dipake, yang akhirnya malah ga dipake-pake karena udah ga muat atau keduluan ngengat? Psssst, aku sering kayak gini hahahaha. Kalo beli sesuatu, bayarnya itu kayak ga ikhlas gitu karena duitnya berkurang (later i know that this is called scarcity mental).
Aneh ga sih?
Dan anehnya aku menyadari ini semua saat ikut kelas Menatar
Bawah Sadar sesi Money and Abundance oleh psikoterapis Qintari Anindhita.
Mengikuti sesi ini, sebenarnya bukan hanya membedah mindset kita tentang uang,
tapi lebih dari itu. Ini tentang alam bawah sadar kita, luka trauma masa kecil
yang menjadi akar pola pikir kita saat dewasa. And i tell you, menelusuri alam
bawah sadar, mengurai penyebab mengapa aku begini begitu, bercermin dan
menemukan kiki kecil meringkuk di sana sungguh pengalaman yang.... raw, scary
but beautiful.
Kiki kecil tumbuh besar dalam ucapan orangtuanya, bahwa
kekayaan tak membawamu kemana-mana, namun hanya masalah. Karena benar, sosok
paling kaya yang terdekat adalah seorang saudara yang hidupnya tak pernah putus dengan
drama kehidupan, utang piutang, ambisi tak pernah habis, namun kesepian. Tanpa
sadar, aku mengumpamakan kekayaan sebagai seseorang itu. Dan aku takut kaya
karena aku takut hidupku jadi seperti dia.
Kiki kecil tumbuh dalam sibling rivalry. Selalu dibandingkan
dengan kakaknya yang cantik, supel, ceria, ramah. Pembandingan itu, membuatku
tumbuh menjadi antitesanya: kiki yang cuek, kaku, mandiri, judes dan pintar. I
mean, the only way to steal everyone’s attention is being smart, because i dont
have pretty face. I never feel pretty. Namun di antara perasaan minder karena
merasa buruk rupa, ada insting berkompetisi untuk menjadi lebih, untuk mencari
perhatian. Because i crave for it.
So i guess, that’s how i end up in photography. I take
picture of anything but myself. Lewat foto dan video, aku bisa memamerkan
keahlianku sekaligus sembunyi, tanpa menampakkan diriku sendiri. Tapi di sisi
lain, banyak dampak yang tidak pernah kuantisipasi: mendapat pujian dan
menemukan ikigai.
Karena aku tak pernah merasa cantik, pujian sangat jarang
mampir padaku. Sehingga, saat dewasa seperti ini, aku selalu gagap saat
mendapat pujian. Aku selalu merendah “halah cuma gitu aja kok”, aku selalu
merasa tak pantas dipuji. I never felt confidence. Duh nulis gini sambil
tertawa miris, segitunya ya akyu hahahahah.
Kembali ke sesi hipnoterapi...
Kak Qin bilang, kesejahteraan itu mestinya otomatis.
Mestinya mudah. Karena yang bikin sulit itu adalah diri kita sendiri, mindset
kita, energi kita. Untuk mengubah mindset ini, kita perlu tahu akarnya (alam
bawah sadar yg dibentuk saat kita kecil), lalu menelusuri setiap pertanda kecil
yang seringkali kita abaikan. Karena semesta selalu memberi pertanda ke mana
seharusnya langkah kita.
Maka aku menelusuri jalan-jalan sepi itu, membuka setiap
memori, what am i missing?
Perlahan kutemukan.
Kata James Clear, bakat itu adalah pain you can bear the
most. Capeknya berkebun dan motrek, mana sih yang lebih mending, yang energimu tak
pernah padam? Dan kusadari bahwa secapek-capeknya, sebosan-bosannya aku pegang
kamera, i keep on coming back. Aku selalu balik ke kamera, ga peduli jelek,
gagal, mengerikan, melelahkan proses dan hasil karyaku.
Aku, entah bagaimana caranya, selalu bertemu kemudahan di
fotografi. Kamera dslr pertamaku kudapat dari NiHen, seorang sahabat yang
dengan senang hati menjual kamera bekasnya padaku dengan harga semampuku,
karena beliau percaya kemampuanku (saat itu aku masih pake hp buat motrek).
Lalu bertemu mentor-mentor hebat dan bersahabat dengan mereka, yang sedikit
banyak mengajariku ttg teknik fotografi, seperti Uni Sefa, Teh Winda, Busha,
Teh Ocha, dsb. Juga tak lupa, bersahabat dengan orang-orang yang banyak membuka
mata tentang proses, madam Anitajoyo, bune Asri, mbok Shanty, NiHen, budhe Tari. Lalu beberapa bulan lalu, dapat hadiah
kamera lumix yang lebih canggih dari seri punyaku.
Dan saat brand berdatangan untuk menawarkan kerjasama, i
cant count how many of them restlessly believe in me. Yang datang menawari
kerjaan, lalu kutolak, lalu tetap datang lagi dengan berbagai kemudahan: dari
motrek/suting secarepku, deadline sebisaku, tapi invoice diminta di depan.
Huhuhu. What did I do to deserve them, coba?
Dan tak terhitung berapa banyak DM instagram yang bilang
bahwa mereka terbantu dengan storyku, mereka jadi paham tubuhnya krn sharingku
ttg kesehatan, pandangan mereka berubah ttg makanan, ga pilih-pilih lagi, jadi doyan sayur; mereka yang suka dan terhibur dengan videoku, mereka yang
tertawa geli dan lupa sejenak masalahnya karena nonton videoku yang lucu,
mereka yang jadi bersemangat motrek saat lihat kegagalanku motrek, mereka yang
beterima kasih karena aku ada di instagram.
Kalo semua kemudahan itu bukan pertanda bahwa fotografi
inilah jalan rejekiku, i dont know what to call them. Ga bisa kuhitung betapa
banyak kemudahan yang kudapat, kepercayaan dari orang-orang yang membangkitkan
rasa percaya diriku (as i stated earlier i have problem with confidence). Dan
nyambung dengan yang kak Qin bilang, kita semua punya gifts, bakat alam, yang
bisa jadi adalah saluran kesejahteraan kita. Maka akui, peluk, dan berbanggalah
dengan bakat yang kamu punya.
And here i am. Dengan ini, aku menyatakan bahwa aku adalah fotografer dan videografer. This is me, my skill, my gift; yang selama ini cuma kuanggap main-main dan kurendahkan. I am proud of who i am. I am beautiful. My picture & video are great and i love them. Akhirnya aku membeli c-stand yang kuidamkan sejak 2 tahun lalu, karena yakin sekali c-stand membantu fotografiku. membeli flash juga untuk ningkatin skill sekaligus ikutan kelas flash. Mengeluarkan duit jutaan bukan lagi dengan ketakutan duit berkurang, nanti ga kepake, nanti mubazir, belajarnya kapan, ga ada waktu dan seribu alasan lain; tapi dengan keyakinan this is how it supposed to be, karena ini memudahkanku, karena dengan ini akan berlipat sepuluh-seratus kali dari yang kukeluarkan. i am not afraid of money, anymore. aku berani menjadi kaya, I am deserving.
Pada akhirnya, money and
abundance ini bukan melulu tentang uang. Tapi menerima dan mencintai siapa diri kita, bangga
atas apa yang kita kerjakan sehingga kreativitas kita mengalir terus,
dipertemukan dengan orang-orang asing yang saling memberi dukungan: ini semua
adalah rezeki, adalah kesejahteraan. Persoalan uang, percaya deh, akan ngalir
dengan sendirinya selama kita terbebas dari mental scarcity.
Aku sendiri membuktikan, di hari aku ikut kelas Money and Abundance, sorenya dikabari kalo invoice cair (pada saat itu lagi butuh duit banget) dan datang 3 tawaran kerjasama. Sebelumnya, aku motrek seringkali dg mengeluh. Yah secinta-cintanya, kalo lagi capek pasti ngeluh kan. Sekarang, motrek dan suting tuh rasanya enteng banget! Pandanganku akan fotografi jadi berubah, sekarang merasakan bahwa inilah jalanku, skillku, bakatku, saluran kesejahteraanku, tempatku di mana aku bisa aktualisasi diri, berbagi apa yang kupunyai, dan bikin orang senang. Sekarang ini aku merasa melalui fotografi, aku bisa bermanfaat untuk orang lain. Dan apa lagi sih kebahagiaan terbesar selain merasa bermanfaat untuk sesama?
Bahwa ini adalah jalan rejekiku, iya. Tapi bahwa aku juga bisa sangat idealis di sini, ternyata iya juga. Dua minggu ini aku bisa menolak tawaran yang mampir karena tidak sesuai dengan nilaiku, dan sungguh ga ada penyesalan atau berandai-andai di sana. I just know that its not meant to be. Tapi di sisi lain, aku menerima tawaran kerjasama dg sukacita dari brand yang juga kusayang dan kukonsumsi sehari-hari. Begitu pula dengan hateful comments. Dulu banget, sering kepikiran kalo dapat komen ga enak. Yeah, I wanted to please everyone. Sekarang, I take it easy. Tiap orang berbeda selera, pengalaman, privilese; there's no single formula for happiness. I can only control my reaction and energy, kan?
life is so much easier rite now. thanks kak Qin.
No comments